Short Story

ETERNAL DREAM


Angin semilir berhembus. Dingin yang begitu menusuk tulang. Bintang-bintang di langit malam berkelap-kelip. Tiada setitik awan pun di langit. Malam itu bulan bersinar begitu terang benderang memancarkan cahayanya yang lembut. Daun-daun pepohonan ikut menari mengikuti musik alam. Iringan orkestra malam membahana memenuhi langit. Begitu tenang dan damai. Maria merapatkan jaketnya untuk menghindari udara yang begitu dingin. Ia menggosok-gosokkan tangannya untuk menciptakan kehangatan. Ia mencintai malam. Ia begitu mencintai bulan dan bintang.
                “Maria! Sudah malam. Cepatlah beristirahat!” teriak sang Ibu. Maria hanya diam dan menghembuskan nafasnya. Ia menarik kembali nafas dan mencium bau wangi yang sedikit asing baginya. Ternyata, bunga anggrek merpatinya telah berbunga. Bunga itu mekar untuk pertama kalinya sejak 3 tahun yang lalu ketika ia kehilangan kakak laki-laki yang paling dicintainya. Marco, kakak laki-lakinya itu telah menghilang bak di telan Bumi 3 tahun yang lalu. Tiada pertanda maupun pesan yang ditinggalkannya untuk Maria. Maria sangat sedih.
                Tak terasa air mata Maria mengalir membasahi pipinya yang putih bersih. Ia lalu menghapusnya dengan punggung tangan kanannya. “Marco. Apa kau mendengarku sekarang? Kenapa kau pergi begitu saja. Aku begitu kesepian, Marco.” Katanya sambil memandang ke arah bulan purnama malam itu. ia begitu dekat dengan kakak laki-lakinya. Ia merasa sendirian ketika kakaknya itu menghilang. Ia mengambil fotonya bersama kakaknya lalu dipeluknya foto itu. ia berjalan ke arah tempat tidur. Ia merangkak ke atas tempat tidur ketika jam berdentang 12 kali. Air mata kembali menitik dari mata coklatnya. Ia lalu memejamkan mata dan tidur dalam tangis pilunya.
                Keesokan harinya Maria terbangun oleh suara berisik dari lantai bawah. Ia dengan cepat berdiri dan membuka jendelanya lalu segera menuruni tangga. “Ibu! Ada apa di bawah sana mengapa berisik sekali?” teriak Maria. Maria bukan hanya menemukan Ibunya namun juga seorang pemuda tampan asing yang sedang meminta maaf. “Ibu, ada apa ini? Mengapa semua bearantakan?” Ibu Maria yang bernama Carmena berkata, “Anak muda ini sedang bermain bola bersama anak-anak kecil dan tidak sengaja ‘memasukkan’ bola itu ke dapur kita.” Maria yang masih berada di tangga agak sedikit terburu-buru dan terpeleset. Ketika hmpir terbentur lantai sebuah lengan terulur dan menahan Maria. “Kau tidak apa-apa, Nona?” tanya sang pemuda. Maria yang kaget segera berdiri dan berterima kasih. Carmena berkata, “Anak muda kau telah mengganti rugi dengan menyelamatkan putriku. Terima kasih.” Sang pemuda hanya tersenyum dan berkata, “Bukan apa-apa, Madam. Maafkan aku sekali lagi.”
                Maria terdiam. Mata biru milik pemuda itu mengingatkannya akan kakak lelakinya, “Tunggu! Siapa namamu?” Sang pemuda menjawab, “Verido.” Maria menjawab, “Baiklah. Terima kasih Verido.”  Si pemuda yang dipanggil Verido itu memberi salam kepada Carmena dan segera pergi. Maria sedikit terhipnotis oleh pandangan mata biru itu. ia benar-benar merindukan kakak satu-satunya itu. Suara ibunya membuyarkan lamunan Maria. Akhirnya Maria membantu ibunya membersihkan dapur itu.
                Pagi itu Maria ditugaskan oleh ibunya untuk membawakan makanan pesanan ke konsumen. Maria termasuk gadis populer di kota kecil bernama Terra di Pax Island ini. Sepanjang perjalanan ia selalu bertemu dengan para pemuda dan teman-temannya. Ia terkenal akan kebaikan, kecantikan dan kepandaiannya. Semua orang menghormatinya walau ia bukan seorang berpengaruh di Terra City dan tak sedikit pemuda yang menaruh hati padanya. Ia juga seorang kreatif dan berprestasi. Ia bersekolah di Teramo High School, sekolah favorit pertama di Terra City, sekarang ia kelas XII. Ia mendapat beasiswa untuk sekolah di sana. Dengan tanpa menyerah ia tetap menunjukkan prestasinya di sekolah itu.
                Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit akhirnya ia sampai ke rumah keluarga Clements, konsumen tetap ibunya. Ia memencet bel dan sang penjaga membuka pintu, “Ingin bertemu siapa?” Maria menjawab, “Mau mengantarkan pesanan untuk keluarga Clements.” Akhirnya sang penjaga mempersilakan Maria untuk masuk. Maria menunggu di teras rumah ketika seorang pemuda dengan rambut basah dan bertelanjang dada keluar dari rumah. Handuk biru yang dikenakannya menutupi kepalanya. Maria yang melihat pemuda itu langsung menundukkan kepala sambil berdiri, “ehmmm... ini pesanan untuk Nyonya Clements dari ibuku, Carmena Benediciant.” Sang pemuda yang dari tadi sibuk mengeringkan rambut memandang Maria dengan tatapan bingung, “Mengapa kau menundukkan kepalamu?” Maria dengan gugup berdehem dan berkata, “Maaf, tapi kau tidak memakai pakaian.” Sang pemuda menjawab, “Ow... ehm... maafkan aku. Aku akan segera kembali, kau tunggu di sini.”
                Beberapa menit kemudian sang pemuda kembali dengan pakaian kasual rumahan, “Nah, sekarang kau bisa mengangkat kepalamu.” Maria mengangkat kepalanya dan memberikan pesananan itu lalu baru tersadar. Mereka berdua berkata bersamaan, “Kau!” Sang pemuda menimpali, “apa yang kau lakukan di sini?” Maria menjawab, “Aku mengantarkan pesanan ini tentu saja. Aku anak keluarga Benediciant, kau sendiri?” “aku tinggal di sini, aku anak keluarga Clements. Aku belum mengatahui namamu.” Maria menjawab, “Namaku Maria, Maria Stella Benediciant.” Sang pemuda menjawab, “Aku Verido Clements.”  Maria tersenyum dan berkata, “Kau sudah memperkenalkan diri pagi tadi.” Verido hanya tertawa.
                “Mengapa aku baru melihatmu tinggal di sini?” Verido menjawab, “aku baru saja pindah dari Vicel City. baru saja lulus.” Maria menyahut, “Jadi kau akan melanjutkan perguruan tinggi di sini?” “Yah. Begitulah.” Mereka berdua mengobrol begitu lama hingga akhirnya Maria teringat bahwa ia ada janji makan siang bersama ibunya jam 12 siang. Verido memaksa untuk mengantar Maria pulang, ia berkata, “Aku tidak tenang jika membiarkan seorang wanita pulang sendirian.” Maria hanya tertawa mendengar hal itu. akhirnya Maria membiarkan Verido mengantarnya pulang. Walau begitu Maria sedikit khawatir. Ia khawatir Verido akan menjadi bulan-bulanan teman-teman wanitanya karena sejak awal ia sudah menganggap Verido mirip dengan kakak lelakinya, Marco,  yang selalu menjadi idola teman-temannya sebelum menghilang 3 tahun lalu. 
                Maria memutuskan untuk mengesampingkan gagasan itu ketika mereka berdua berpapasan dengan teman Maria, Catryn. “Hai, Maria... wow! Siapa ini?” ternyata, ketakutan Maria terbukti. Mereka akhirnya terhenti oleh Cathryn yang mendekati Verido hingga ia kewalahan. Cathryn adalah teman sekolah Maria dan paling tidak tahan dengan lelaki tampan. Akhirnya setelah puas mengintrogasi Verido, Cathryn langsung pergi dan Maria bisa menarik nafas lega. Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang ketika maag Maria kambuh, “ouch! Aku lupa.” Verido melihat Maria dan mulai khawatir, “Maria, ada apa? Kau baik-baik saja?” Maria memegang perutnya dan berkata, “ah... sepertinya penyakitku kambuh lagi.” Verido cukup terkejut dan langsung merangkul Maria, “Kalau begitu kita harus cepat pulang, ayo!”
                Sesampai di rumah, Maria segera duduk dan disambut oleh ibunya. Ibunya segera memberikan obat maag kepada Maria dan Verido membantunya meminum obat itu. Maria menarik nafas lega dan ia mengajak Verido untuk makan siang bersama, “Ayo, kau pasti belum makan.” Verido hanya bisa menerimanya, “Ya, terima kasih!” mereka akhirnya makan siang bersama ketika Carmena menangkap sesuatu dari pandangan Verido ke arah Maria. Carmena yakin bahwa itu hal yang positif dan mulai bertanya ke Verido, “di mana sekolahmu, Nak?” Verido menjawab, “Frenco High School. Saya baru lulus tahun ini.” Carmena agak terkejut karena Frenco High School adalah sekolah dengan standard tertinggi, termahal serta terbaik di Pax Island. Lulusan dari Frenco High School rata-rata memiliki IQ 130 ke atas. Lulusan seklah itu selalu menempati peran penting dalam lembaga pemerintahan maupun pengembangan Pax Island. Verido tentu anak yang sangat berbakat.
                Sehabis makan bersama Verido pamit kepada Carmena untuk pulang. Maria yang sedari tadi melamun tiba-tiba tersadar bahwa betapa ia mulai merindukan kakaknya lagi. Ia sepeprti merasakan kakak lelakinya sedang bersamanya ketika ia memandang mata biru milik Verido. Perasaan anehnya itu selalu mengahantuinya tiap kali ia mengingat Verido. Tak terasa air mata kembali mengalir, “Marco...” nama yang selalu terucap dalam tangisan pilunya. Maria masuk ke kamarnya yang berada di loteng dan mengambil buku hariannya. Walau saat itu masih pukul 1 siang namun, ia ingin mengungkapkan perasaanya saat itu. Wajah Marco dan Verido selalu terbayang. Ia tak dapat menahan air matanya untuk jatuh kembali.
                ”Cukup sulit, ya menahan rasa rindu itu.” sebuah suara membuyarkan lamunan Maria. “Ibu?” Maria menoleh dan melihat ibunya sudah berdiri di depan pintu. “Ibu juga rindu pada Marco. Dia tampan, pandai, dan sangat menyayangimu. Kalian bahkan hampir tidak pernah bertengkar.” Kata ibunya. Maria menunduk menatap buku hariannya dan berkata, ”mungkin jika bukan karena pertengkaran terakhir itu, Marco tidak akan pergi ya, Bu?” Carmena berjalan mendekati Maria dan mneyentuh pundaknya, “Marco akan tetap pergi dan itu bukan salahmu. Itu sudah keputusannya untuk menjadi seorang pelaut seperti ayahmu.” Maria kembali terisak dan Carmena mencium keningnya dan berkata, “Kita hanya bisa berharap bahwa Marco sudah bahagia dan akan kembali suatu saat nanti.” Maria hanya mampu mengangguk dengan lesu.
                Malam itu sama seperti malam-malam sebelumnya bagi Maria, dingin, sepi, dan menyakitkan. Lebih menyakitkan lagi ketika rasa rindu itu terkuak. Maria sulit berpikir jernih. Ia hanya menginginkan kakakknya kembali. Namun, ia tak dapt berbuat apa pun. Ia hanya mampu berharap dan bertahan melewati malam-malam dingin yang menyiksa. Nyanyian malam nurung hantu mengiringi tidurnya. Tangisan hatinya melayng melewati langit malam. Tak satupun orang dapat mendengarnya ataupun merasa. Hanya Maria, alam dan Tuhan yang mampu merasa kesakitan batin itu. raungan hati yang terluka. Ingatannya melayang ke peristiwa 3 tahun yang lalu.
                “Marco! Jangan kau tinggal aku sendiri. Aku tak peduli. Yang penting kau jangan pergi!” Marco mengambil tasnya dan berjalan ke arah pintu tanpa menghiraukan suara adiknya. “Marco!” teriak ibunya, “Kau tak perlu pergi. Tinggallah di sini saja. Ibu bisa mencari pekerjaan yang akan mensejahterakan keluarga kita. Apa kau mau berakhir di laut seperti ayahmu dan meninggalkan kami sendiri?” Marco berhenti dan menoleh ke arah ibunya, “tekadku sudah bulat, Bu. Aku akan menjadi seorang pelaut dan akan membawa pulang harta yang akan mensejahterakan keluarga kita.” Maria yang masih meraung-raung menangis dan berkata, “Marco! Aku tak ingin kau pergi! Bagimana jika hal buruk terjadi padamu? Aku mempunyai firasat tidak enak, Marco! Aku mohon jangan pergi!” Marco menghampiri adiknya, “Maria, kau adik kecilku yang manis. Aku pasti kembali dan aku berjanji tak akan ada yang menghalangi jalanku untuk kembali bersama kalian.” Maria masih terus menangis, “kau pernah berjanji tak akan meninggalkan aku dan ibu. Tapi mengapa sekarang kau pergi? Aku tak ingin kau pergi. Apa kau masih tak percaya padaku. Firasatku buruk! Jangan pergi!” Marco menyentuh pipi adiknya yang sudah basah oleh air mata dan menciumnya, “Aku pasti kembali. Aku berjanji. Aku akan kembali untukmu dan ibu. Aku berjanji!”
                Rasa nyeri dan ngilu mengisi relung hati Maria ketika ingatan itu tumpah ke otaknya. Ia tak ingin mengingat bagaimana hancurnya hati Maria ketika Marco melangkah melewati pintu rumah mereka dan tak pernah kembali selama 3 tahun. Ia tak ingin ingatan itu menggores luka lama di hatinya. Tidak lagi. Seolah ia mendengar langkah kaki Marco yang pergi menjauh, menjauh, menjauh dan tak pernah terdengar lagi. Maria membuka jendela kamarnya yang telah ditutup beberapa menit yang lalu. Udara dan angin malam masuk ke dalam kamar. Maria memetik daun pohon cendana di dahannya yang melambai-lambai tertiup angin di dekat jendela. Wangi cendana sungguh menenangkan namun tak cukup kuat untuk memnghilangkan tngisan pilu hati yang merana. Hari-hari berlalu seperti biasa. Verido sudah terbiasa mengobrol dengan Maria tiap pagi saat Maria mengantar makanan pesanan keluarga Clements. Mereka makin dekat hingga suatu saat sesuatu terjadi.
                Pagi itu seperti biasa Maria mengantarkan makanan ke rumah keluarga Clements. Sesampainya di sana ia mengobrol bersama Verido pula. Ibu dari Verido, Margareth keluar dan menyambut Maria dan bertanya, “wah, baru kali ini aku melihat wajah adik Marco, cantik sekali.” Maria pun terkesiap oleh perkataan Margareth, “Anda kenal Marco?” Margareth menjawab dengan sedikit ragu setelah melihat Verido menggenlengkan kepala, “Marco adalah sahabat Verido di Franco High School sampai....” Maria kaget, “Sampai apa, Madam? Katakan pada saya!” Verido menjawab, “Maafkan aku menyimpan semua ini, tetapi Marco tidak ingin kau mengetahuinya dan menjadi sedih. Namun, aku harus memberi tau kebenarannya. 3 tahun yang lalu Marco pergi untuk menjadi seorang pelaut dan berjalan selama 1 tahun. Namun, ia tak mendapatkan apa-apa dan ia menjadi miskin, namun ayahku melihat kepandaian dan bakat dalam diri Marco jadi ia memasukkan Marco untuk bersekolah di Franco dan menjadi sahabatku sejak saat itu. aku yang waktu itu memiliki cacat mata selalu dibantunya untuk mengikuti pelajaran dengan saksama. Marco berkata ia ingin menyimpan ini semua dari keluarganya dan akan mengungkapkannya saat waktunya tepat. Namun, waktu yang tepat itu tak pernah datang. Pada hari ke-13 setelah liburan musim panas Marco dibunuh di depan mataku sendiri karena berusaha melindungiku karena aku menjadi target buruan lawan bisnis ayahku. Sebelum ajal menjemputnya ia berkata bahwa ia ingin menyubangkan matanya untukku. Aku sempat menolaknya namun ia memaksa. Ia tak ingin kau sedih jadi ia memendam semua ini hingga detik akhir hidupnya.”
                Maria yang mendengar itu langsung menangis histeris dan berlari pulang. Ia tak sanggup menerima kenyataan bahwa kakaknya telah tiada. Air mata terus mengalir dan sakit mencabik-cabik perasaannya. Ia berteriak sambil berlari, “Marco!! Kau pembohong! Kau bilang kau akan kembali! Kau pembohong!!” Maria terus berlari tanpa arah. Tanpa ia sadari ia sudah berlari memasuki hutan yang ada sekitar 1 km di belakang rumahnya. Ia berlari ke arah jurang dan nyaris menjatuhkan diri ketika Verido menarik tangannya dan memeluknya, “Jangan, Maria. Jika kau mati maka Marco tak akan bisa bahagia di alam sana.” Maria meronta, “Biar! Biarkan aku melakukan ini. Ini terlalu sakit Verido! Terlalu sakit!!” Verido diam dan tetap memeluknya sekuat tenaga. Akhirnya Maria menyerah dan tetap menangis di dada Verido.
                Kehilangan seseorang yang kita cintai begit sulit. Sesulit menemukan jarum dalam tumpukan jerami. Maria yang biasanya ceria dan tenang, sejak kejadiaan itu ia menjadi penyendiri dan pemurung. Tiap kali nama Marco disebut ia akan marah besar. Keceriannya berubah menjadi kebencian. Ia marah karena Marco tak menepati janjinya. Ia tak dapat menerima semua ini. Ini terlalu sakit untuknya. Tiap hari Verido selalu mengunjunginya namun, ia mengunci diri di kamarnya. Maria tak menyalahkan Verido atau siapa namun, kesedihan berubah jadi kebencian. Ia membenci kakaknya. Ia tak tahu apa yang bisa diperbuatnya.
                Seminggu berlalu sejak Maria tahu tentang arti sebuah kebenaran. Verido tetap bersikeras ingin membantu Maria walau tanpa kemajuan nan berarti. Seperti biasanya Verido menuju loteng yaitu kamar Maria, “Maria! Aku tahu kau akan tetap seperti ini. Tapi... tapi aku ingin kau mengunjungi kakakmu. Namun, itu terserah padamu.” Maria yang berada di kamar kaget dan segera membuka pintu, “Verido! Aku ikut bersamamu.” Verido tersenyum dan berkata, “Baiklah, kita akan menuju ke Vicel City. persiapkan dirimu!”
                Beberapa jam kemudian mereka sudah dalam perjalanan menuju Vicel City. Maria hanya diam sepanjang jalan sedangkan, Verido selalu mengkhawatirkan Maria sepanjang perjalanan. Verido menyentuh dadanya dan mulai mendengarkan detak jantungnya sendiri. Ia berkata dalam hati, “Marco, inikah yang disebut dengan cinta? Aku yakin. Aku telah mencintai adikmu sendiri.” Tiba-tiba terdengar sebuah suara, “Verido, jaga adikku baik-baik. Cintai dia sepenuh hati!” tiba-tiba Verido tersadar dan ia melihat bayangan Marco di depan matanya, “Marco?!” Maria yang sedari tadi diam pun kaget, “Ada apa, Verido?” Verido terkesiap dan menjawab, “Tidak ada apa-apa, Maria. Kau tenang saja.” Verido berpaling dan ia yakin bahwa tadi ia mendengar suara Marco berbicara dan hadir di hadapannya. Ia menyentuh mata kanannya, mata yang diberikan Marco untuknya.
                Mereka sampai di sebuah bukit nan hijau dan subur. Mereka turun mulai mendaki bukit itu. “Ke mana kita akan pergi?” tanya Maria. “Menemui kakakmu tentu saja. Ayo.” Jawab Verido. Mereka terus berjalan hingga akhirnya sampailah mereka di depan sebuah batu nisan putih bertuliskan Marco Gregor Benediciant dengan ukiran emas. Setelah melihat nisan itu Maria jatuh berlutut dan menangis sejadi-jadinya. Ia terus menerus menyalahkan Marco atas semuanya. Verido berusaha menenangkan Maria ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara, “Maria, maafkan aku karena tak menepati janjiku. Namun, aku selalu berada di sisimu menjagamu lewat Verido. Aku melihatmu lewat matanya, matanya juga mataku yang akan selalu menjagamu. Kau mencintai Verido, bukan? Dia juga mencintaimu. Hanya mata kanan Verido yang mampu melihat arwahku. Aku dan Verido akan selalu menjagamu dan ibu.” Maria tersadar, “Marco? Marco?! Marco!!!!!”

By : Regina Tasya

No comments:

Post a Comment